Biografi
Beliau menjadi guru besar fisika teori Institut Teknologi Bandung per Januari 1995 dan dikenal sebagai fisikawan pertama Indonesia (bahkan Asia Tenggara) dalam teori relativitas khususnya Relativitas umum yang tergolong langka di bidangnya.
Pada tahun 1967, putra dari Israel Silaban dan Regina br Lumbantoruan ini berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar relativitas umum dan ia diterima di pusat gravitasi kajian Syracuse langsung di bawah bimbingan oleh Peter Gabriel Bergmann dan Joshua N. Goldberg yang dikenal sebagai otoritas relativitas umum setelah pencetusnya, Albert Einstein. Di sana Pantur Silaban memasuki isu paling hangat yakni mengawinkan Medan Kuantum dan Relativitas Umum untuk meminak Teori Kuantum Gravitasi. Itulah impian terkenal Albert Einstein yakni meramu keempat interaksi yang ada di alam semesta dalam satu formulasi yang gagal ia peroleh sampai akhir hayatnya: Grand Unified Theory. Pekerjaan ini diselesaikan dengan disertasi yang berjudul "Null Tetrad, Formulation of the Equation of Motion in General Relativity" pada tahun 1971.
Setelah kembali ke Indonesia, Pantur Silaban menjadi orang pertama di Indonesia yang mempelajari relativitas Einstein sampai tingkat doktor. Beberapa risetnya diterbitkan Journal of General Relativity and Gravitation. Sekian banyak makalahnya dimuat berbagai proceedings. Seniornya, Prof. Achmad Baiquni (almarhum), selalu menyebut nama Pantur Silaban sebagai otoritas bila menyinggung nama Einstein dan beberapa kali diundang sebagai pembicara di International Centre for Theoretical Physics (ICTP), Trieste, Italia, yang didirikan Nobelis Fisika, Abdus Salam. Pantur Silaban selalu mencermati indikasi akan keberhasilan Teori Kuantum Gravitasi hingga kini.
Di lingkungan keluarga ia menebang folklore, "rebung tak jauh dari rumpunnya". Keempat putrinya, buah perkawinan dengan Rugun br Lumbantoruan, merupakan sarjana dari perguruan tinggi negeri. Anna br Silaban lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran; Ruth br Silaban dokter spesialis saraf lulusan Universitas Padjajaran; Sarah br Silaban lulusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung dan magister Universitas Teknologi Chalmers, Swedia; dan si bungsu Mary br Silaban adalah lulusan Teknik Geologi Institut Teknologi Bandung.
id.wikipedia.org
============
Prof. Dr. Pantur Silaban: Fisikawan Indonesia Pertama yang Mendalami Teori Einstein
Tahun 2005 ini ditetapkan sebagai Tahun Fisika Dunia oleh badan pendidikan PBB, UNESCO. Tepat 100 tahun silam, Alberts Einstein muda –masih 26 tahun— menulis artikel ilmiah bertajuk ”On the Elektromagnetik of Moving Body”. Tulisan inilah yang akhirnya menelurkan teorinya yang paling populer hingga kini, teori relativitas.
Salah satu murid dari cucu Einstein ada di Indonesia. Dialah Prof. Dr. Pantur Silaban. Mahasiswa jurusan fisika elektro bisa jadi tak awam lagi mendengar namanya. Dialah yang menerjemahkan dua volume buku Elements of Engineering Electromagnetics ke bahasa Indonesia.
Lahir di Sidikalang, Sumatera Utara, 11 November 1937, lelaki ini memang diliputi rasa keingintahuan ihwal alam. Tak heran setiap orasi ilmiahnya selalu bertema ihwal alam semesta dan jagat raya. Tema itu pula yang diangkatnya dalam ajang simposium internasional fisika di Trieste-Italia, Melbourne dan New York.
Berawal dari menggondol gelar sarjana teknik fisika teoretik Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung (ITB). Tahun 1964 ia diangkat menjadi staf pengajar Jurusan Fisika. Dua tahun kemudian tepatnya Desember 1966, ayah dari empat puteri ini bertolak ke Amerika Serikat dengan beasiswa United States Agency For International Developments (USAID) untuk melanjutkan pendidikan di Graduate School, Syracuse University, New York.
Mengenai kampusnya ini, Pantur sempat menuturkan komedi ke mahasiswanya. ”Hanya ada dua jenis orang yang kuliah di Syracuse, yakni orang Yahudi dan orang pintar. Saya bukan orang Yahudi,” demikian candaannya yang terkenal ke seantero mahasiswa ITB.
Di sini ia sempat menjadi siswa cucu dari Einstein. Kemudian ia melanjutkan menggondol gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) dalam Teori Relativitas Umum dari School of Relativity, Department of Physics, Syracuse University, New York (USA), pada tanggal 12 Juni 1971. Istri dari Rugun Lumbantoruan ini adalah orang Indonesia pertama yang mendalami teori peninggalan Einstein tersebut.
Sumber : (mer) Sinar Harapan, Jakarta
=================
PANTUR SILABAN - Dari Snellius ke Einstein
SEKALI peristiwa di awal dasawarsa lima puluhan. Seorang murid SMP di Sidikalang terpana pada keterangan guru ilmu alamnya. “Sinar yang masuk dari udara ke dalam air selalu dibelokkan.” Laki-laki remaja itu pun bertanya: mengapa? Tak ada jawaban memadai.
Hukum Snellius mengenai pembiasan itu merupakan pintu masuk bagi Pantur Silaban mencintai fisika. Karena tak ada jawaban jitu dari sang guru, ia pun bernazar akan menggeledah rahasia alam melalui studi fisika di kemudian hari.
Dalam perjalanan ruang-waktu, minat Pantur melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi setelah lulus SMA ikut pula bergerak. Selain mendalami fisika, ia berhasrat pula mempelajari teologi. Meninggalkan Sumatera selepas sekolah lanjutan atas, pria kelahiran Sidikalang, 11 November 1937 itu mampir di Jakarta membekali diri mengikuti ujian saringan masuk sekolah tinggi teologi. “Anehnya, saya sakit selama di Jakarta mempersiapkan diri masuk ke sana,” katanya. Perjalanan diteruskan ke Bandung. Tujuannya satu: kuliah fisika di ITB. Dia diterima di sana.
Waktu pilih Fisika, tak ada masalah dengan orangtua?
“Ayah saya yang pedagang dan buta huruf hanya mengatakan, Kamu terserah pilih apa“. Kami hanya bisa membantu menyekolahkan. Saran saya ambil bidang yang kamu suka.’ Tak disuruh pilih yang menghasilkan uang sekian,” kata Pantur mengenai kebebasan yang ia peroleh dari ayahnya, Israel Silaban, memilih jurusan.
Orangtua Pantur, pasangan Israel Silaban dan Regina br. Lumbantoruan, adalah pedagang yang berhasil. Pendek cerita, keluarga ini tergolong berada di lingkungan Sidikalang dan sekitarnya.
Dalam tempo enam setengah tahun, waktu optimal pada zaman itu merampungkan kuliah tingkat sarjana, Pantur lulus pada tahun 1964 dan berhak menyandang gelar doktorandus dalam fisika. Ia langsung diterima sebagai anggota staf pengajar Fisika ITB.
Selama kuliah kecenderungannya pada bidang tertentu dalam fisika mulai terbentuk. Pantur amat menggandrungi matematika murni dan mata kuliah yang tergolong dalam kelompok fisika teori, seperti mekanika klasik lanjut, teori medan elektromagnetik, mekanika kuantum, dan teori relativitas Einstein. Maka, ketika datang kesempatan studi lanjut di Amerika Serikat pada tahun 1967, tujuannya sudah jelas. “I go there just for the General Relativity Theory, no other things,” katanya. “Itu yang ada di benak saya waktu itu.”
Siapakah fisikawan yang paling tepat menuntunnya belajar Relativitas Umum Einstein di tingkat doktor? Dan di perguruan tinggi manakah fisikawan-fisikawan itu bermarkas di Amerika Serikat?
Albert Einstein (1879-1955) pada saat itu sudah 12 tahun di alam baka. Tapi, semasa hidupnya ia salah satu pendiri sekolah –semacam fakultas—yang menjadi tempat khusus mempelajari teori gravitasi dan Relativitas Umum Einstein. Sekolah itu berada di bawah Universitas Syracuse, New York dan termasyhur sebagai pusat studi gravitasi dan Relativitas Unum yang pertama dan terkemuka di dunia, bahkan sampai saat ini. Di sana mengajar teman-teman dan murid-murid dekat Einstein, antara lain Peter Gabriel Bergmann. Dia fisikawan pertama yang menulis buku daras tentang Relativitas Umum Einstein.
Karya Bergmann itu, Introduction to the Theory of Relativity, mendapat tempat khusus di kalangan fisikawan teoretis dengan spesialisasi teori gravitasi atau Relativitas Umum. Selain dianggap sebagai salah satu buku babon tentang relativitas, kitab inilah satu-satunya tempat di mana Einstein pernah menulis kata pengantar.
Pantur diterima di sekolah itu. Tentang pentingnya kedudukan sekolah gravitasi Universitas Syracuse itu, Dr. Clifford M. Will dari Universitas Washington di St. Louis seperti dikutip The New York Times (23 Oktober 2002) ketika menurunkan obituari atas Peter G. Bergmann menulis sebagai berikut: “Pada masa-masa akhir 1940an Syracuse adalah tempat yang tepat untuk bekerja dalam Relativitas Umum karena tak ada tempat lain di dunia yang melakukannya.”
Untung baginya sebab Bergmann bersedia menjadi ko-pembimbing untuk disertasinya. Dengan demikian, Pantur merupakan fisikawan Indonesia yang berguru langsung kepada murid dan kolega Einstein dalam Relativitas Umum. Ia merupakan satu dari 32 mahasiswa dari seluruh dunia yang mempelajari Relativitas Umum di Syracuse dengan Bergmann sebagai pembimbing atau ko-pembimbing dalam kurun tahun 1947-1982. Tak salah kalau orang menyebutnya sebagai cucu murid Einstein.
Adapun pembimbing utamanya lebih muda dari Bergmann, tapi juga raksasa dalam Relativitas Umum. Dialah Joshua N. Goldberg. Nama-nama itu terasa Yahudi. Universitas Syracuse memang didominasi oleh orang-orang Yahudi, baik dosen maupun mahasiswanya. Sekali waktu dalam sebuah kuliah, Pantur menggambarkan almamaternya itu dengan lelucon segar yang tentu saja didasarkan pada fakta: “Hanya ada dua jenis manusia yang diterima di Syracuse. Yang pertama Yahudi, yang kedua adalah orang pintar. You tahu, saya bukan Yahudi.”
Di Syracuse selain mendalami fisika teoretis, Pantur juga menyerap etos belajar dan etos kerja orang-orang Yahudi di sana. Meski inteligensi mereka relatif tinggi-tinggi, mahasiswa-mahasiswa Yahudi menghabiskan sebagian besar waktu mereka di luar kuliah untuk belajar, belajar, dan belajar. Demikian pula dosen-dosennya. Lampu kamar kerja dosen di sana masih benderang sampai pukul sembilan malam. Kerja keras semacam itu plus otak cemerlang barangkali yang menjelaskan betapa orang-orang berdarah Yahudi menempati jumlah terbanyak dalam daftar peraih Nobel Fisika.
Pantur menyerap pola belajar dan pola kerja seperti itu selama kuliah di sana. Tapi, sekali waktu Pantur ada keperluan pulang lebih lekas ke tempat tinggalnya. Tak enak baginya ketahuan pulang lebih awal. “Akhirnya saya terapkan kelihaian yang khas Indonesia,” katanya sambil tersenyum. “Saya biarkan lampu kamar kerja saya menyala, sementara saya pulang ke tempat tinggal saya.”
Tentu perbuatan ini tak berulang. Sebab bila terulang, niscaya Pantur akan kesulitan memenuhi ajakan Goldberg dan Bergmann ikut dalam upaya mendamaikan Teori Medan Kuantum dan Relativitas Umum demi menemukan Teori Kuantum Gravitasi, teori yang diimpikan semua fisikawan teoretis sedunia, yang memerlukan ketekunan bagi disertasinya. Berbulan-bulan menguantisasi Relativitas Umum supaya akur dengan Medan Kuantum; Pantur, Goldberg, dan Bergmann gagal membidani Teori Kuantum Gravitasi. Fisikawan-fisikawan di Institute for Advanced Studies di Princeton mengingatkan mereka bahwa proyek itu adalah pekerjaan kolektif dalam skala besar yang membutuhkan waktu 25 tahun.
Alih-alih berkeras mendapatkan kuantum gravitasi, akhirnya Pantur mengikuti saran Goldberg. Dengan saran itu, ia pun mengalihkan topik untuk disertasinya: mengamputasi prinsip Relativitas Umum dengan menggunakan Grup Poincare untuk menemukan kuantitas fisis yang kekal dalam radiasi gravitasi. Temuan ini mengukuhkan keberpihakannya kepada Dentuman Besar (Big Bang) sebagai model pembentukan Alam Semesta ketimbang model-model lain.
Pekerjaan itu selesai pada tahun 1971 dan mengukuhkan Pantur Silaban sebagai Ph.D. dengan disertasi berjudul Null Tetrad Formulation of the Equations of Motion in General Relativity. Garis-garis besar mengenai apa yang dicapai dalam disertasinya ini tercantum dalam Dissertation Abstracts International, Volume: 32-10, Seksi: B, halaman: 5963 .
Tiga tahun kemudian Joshua Goldberg—yang banyak menghasilkan risalah penting fisika yang dimuat di jurnal utama seperti Physical Review D, Journal of Mathematical Physics, Journal of Geom. Physics—merujuk pekerjaan Pantur ini dalam risalahnya, Conservation Equations and Equations of Motion in the Null Formalism, yang diterbitkan General Relativity and Gravitation, Volume 5, halaman 183-200. Karya lain yang menjadi rujukan dalam risalah ini adalah dari dua orang mahafisikawan dunia, Hermann Bondi dan Roger Penrose. Jadi, dapatlah ditebak tempat Pantur dalam Relativitas Umum.
Setahun setelah menyelesaikan disertasinya, Pantur kembali di Bandung pada tahun 1972 dan mengajar di Jurusan Fisika ITB. Orang pertama Indonesia yang mendapat doktor dalam Relativitas Umum itu adalah orang Sumatera pertama—tidak sekadar orang Batak pertama—yang mendapat Ph.D. dalam fisika. Sebuah risetnya setelah disertasi ini dimuat di Journal of General Relativity and Gravitation. Sekian makalahnya mengenai teori gravitasi dan fisika partikel elementer dimuat di berbagai prosidings dalam dan luar negeri. Ya, sebagai seorang fisikawan teoretis, Pantur juga menggumuli fisika partikel elementer.
Beberapa kali diundang sebagai pembicara di International Centre for Theoretical Physics (ICTP) yang didirikan fisikawan Pakistan pemenang Nobel Fisika, Abdus Salam, Pantur selalu mencermati indikasi akan keberhasilan ditemukannya Teori Kuantum Gravitasi. Katanya suatu kali dalam sebuah kolokium di Jurusan Fisika ITB, “Dengan menganggap partikel sebagai titik, upaya menguantumkan Relativitas Umum berhadapan dengan singularitas yang tak bisa dihilangkan.” Itu sebabnya ketika teori string—yakni teori fisika yang menganggap partikel sebagai seutas string, bukan titik sebagaimana diasumsikan sejak zaman Democritus (460-370 SM)—menghangat pada pertengahan 1980an hingga awal 1990an, Pantur menggumulinya dan bekerja untuk mendapatkan Teori Kuantum Gravitasi.
“Timbul pula masalah yang tak kalah besarnya,” katanya. “Kita berhadapan dengan perumusan grup simetri yang parameternya sampai 496. Waduh, payah ini.”
Singkat kata, baik dengan memandang partikel terkecil sebagai titik maupun sebagai seutas tali (string), Teori Kuantum Gravitasi yang didamba-dambakan itu masih saja belum berhasil ditemukan. “Jadi, sebetulnya masih banyak proyek dalam fisika teori,” kata Pantur.
Peran sentral Pantur membangun komunitas fisika teori di Indonesia, yang antara lain beranggotakan fisikawan Hans Jacobus Wospakrik (almarhum) yang adalah muridnya semasa S-1, tidak diragukan lagi. “Sulit membayangkan kehadiran fisika teori di Indonesia tanpa Pak Silaban,” kata Triyanta, mantan ketua Departmen Fisika ITB, yang adalah muridnya dan menyelesaikan Ph.D. dari Universitas Tasmania, Australia dalam fisika teoretis.
Sebagai seorang dosen, Pantur adalah komunikator ulung. Ia hadir di kelas dengan membawa kapur saja sebab, “Setiap kali masuk kelas, seorang dosen harus siap dengan bahan yang akan ia ajarkan, sesulit apa pun kuliah yang ia berikan. Tapi, itu tidak menjamin bahwa setiap pertanyaan mahasiswa bisa kita jawab.” Selalu saja ada ilustrasi-ilustrasi yang mudah dikenang dalam kuliahnya untuk memudahkan mahasiswa menangkap konsep fisika yang rumit-rumit. Yang juga tak pernah ketinggalan dalam setiap kuliahnya adalah humor-humor yang segar dan tampaknya autentik. “Beberapa fisikawan di Maryland pernah menghitung temperatur surga dan neraka dengan menggunakan statistik Boltzman, Bose-Einstein, dan Fermi Dirac,” katanya dalam sebuah kuliah. “Ternyata suhu neraka sedikit lebih rendah daripada suhu surga. Itu sebabnya orang lebih banyak berbuat jahat karena neraka ternyata lebih sejuk.”
Karena referensi dalam bahasa Indonesia untuk fisika teori sangat minim, Pantur Silaban pada tahun 1979 menerbitkan buku daras Teori Grup dalam Fisika. Kemudian ia menerbitkan buku Tensor dan Simetri. Pertengahan 1980an, bekerja sama dengan Penerbit Erlangga, dia menerjemahkan banyak buku daras teknologi mesin, elektroteknik, dan matematika yang dipakai perguruan-perguruan tinggi terbaik dunia.
Pantur Silaban dikukuhkan sebagai guru besar ITB dalam fisika teoretis pada Januari 1995. Ia memasuki masa pensiun per 11 November 2002. Tapi, ketua Jurusan Fisika waktu itu, Pepen Arifin, mempertahankannya untuk terus mengajar. “Kalau Jurusan kekurangan ruang kerja, saya sediakan kamar saya untuk beliau,” kata Freddy P. Zen, ketua Kelompok Bidang Keahlian Fisika Teori ITB memperkuat tawaran Pepen Arifin.
Sebagai penghormatan kepada Pantur yang telah memasuki masa pensiun, murid-muridnya mengadakan Seminar Sehari A Tribute to Prof. P. Silaban pada 20 Februari 2003 di ruang kuliah bersejarah Jurusan Fisika ITB, Ruang 1201. Di sana hadir civitas academica dari Jurusan Fisika dan jurusan-jurusan lain di ITB yang mengenal Pantur dengan baik. Beberapa komentar yang terungkap dalam seminar itu antara lain berasal dari guru besar Matematika ITB, M. Ansjar, dan guru besar Fisika ITB, The Houw Liong.
“Bila suasana akademis di ITB dan Indonesia memadai, bukan tak mungkin Pak Silaban menghasilkan kontribusi yang sangat berarti dalam fisika,” kata M. Ansjar sebagaimana dibacakan Freddy P. Zen.
“Yang selalu saya ingat dari Pak Silaban adalah pernyataannya bahwa segala sesuatu, termasuk ruang dan waktu, akan berakhir,” kata The Houw Liong. “Yang tidak berakhir adalah hukum alam.”
Rektor ITB ketika itu, Kusmayanto Kadiman, dan Ketua Departemen Fisika saat itu, Pepen Arifin, pada 30 Agutus 2004 mendaulat Pantur Silaban menggelar kuliah umum populer Umur Alam Semesta di sebuah ruang kuliah Fisika ITB. Seperti dilaporkan Kompas keesokan harinya, ceramah itu dihadiri sekitar 300 orang dari berbagai kalangan, termasuk mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Luhut Panjaitan, geologiman M.T. Zen, Presiden Direktur ESQ Ary Ginanjar Agustian, beberapa orang dari kalangan agamawan, dan beberapa guru SMA.
Dengan mendasarkan perhitungan umur Alam Semesta pada Teori Dentuman Besar, Pantur waktu itu dikutip Kompas mengatakan, “Alam masih miliaran tahun, silakan terus berinvestasi.”
Rupanya laporan surat kabar itu menarik perhatian sebuah keluarga Batak. Tak lama sesudah itu, bertepatan dengan lepas sidi salah satu anaknya, Edward Nababan yang sehari-hari bekerja sebagai salah satu petinggi Perusahaan Jawatan Kereta Api mengundang Pantur Silaban menggelar ceramah fisika di rumahnya di bilangan Jatibening, Jakarta Timur.
Yang menarik, acara yang dimulai sore itu—sebab lepas sidi diadakan di Bandung, lalu keluarga ini langsung menuju Jakarta—diawali dengan ceramah fisika. Inti perayaan lepas sidi bagi putri keluarga Nababan itu adalah ceramah Pantur. Acara adat hanya penyerahan tudu-tudu sipanganon dan dengke, itu pun dilaksanakan setelah acara inti berakhir. Hadir antara lain mantan Eforus HKBP S.A.E. Nababan, aktivis organisasi nonpemerintah abang-beradik Indera Nababan dan Asmara Nababan, Panda Nababan, dan Hotasi Nababan yang sekarang presiden direktur PT Merpati Nusantara Airlines.
TATAP menjumpai fisikawan teoretis ini untuk sebuah wawancara pertengahan Januari lalu di ruang kerjanya di Fisika ITB yang masih seperti dulu: papan tulis penuh dengan relasi-relasi matematis fenomena alam. Suami dari Rugun br. Lumbantoruan, ayah dari empat putri ini—Anna, Ruth, Sarah, dan Mary— serta mertua dari tiga menantu dan kakek empat cucu ini rupanya baru saja kembali dari wisata ke Israel.
“Menantu saya yang orang Swiss itu yang membiayai perjalanan kami,” katanya sambil menjelaskan sedang mempersiapkan buku kuliah untuk beberapa perguruan tinggi di Australia yang tertarik dengan kuliah yang pernah ia berikan di Melbourne beberapa waktu lalu: teori medan kuantum yang diselusuri dari teori Newton. “Rupanya mereka tertarik dengan pendekatan saya ini,” katanya.
Bagaimana minat orang Batak menjadi fisikawan sekarang ini?
Beberapa murid pintar SMA dari kalangan Batak rupanya pernah datang kepadanya ingin belajar serius fisika. “Penghalang mereka jutru orangtua mereka sendiri,” kata Pantur. “Kalau lulus, kamu mau makan apa. Paling jadi guru. Begitu ancaman orangtua mereka. Dari situ kelihatan, profesi guru dilecehkan, padahal yang menentukan maju-tidaknya sebuah bangsa adalah guru.”
Selama orang Batak masih kukuh dengan hamoraon dalam segitiga hasangapon, hamoraon, hagabeon, menurut Pantur Silaban, sulit mengharapkan orang Batak menonjol dalam ilmu-ilmu murni, seperti fisika dan biologi molekuler, dua bidang sains yang masing-masing merupakan primadona ilmu dalam abad 20 dan abad 21.
Menjelang kami berpisah, dalam sesi memotret, Pantur menganjurkan supaya dia dipotret bersama mobil Toyota-Corollla keluaran 1984 itu. “Ini mobil saya yang pertama dan terakhir, tidak akan pernah saya ganti,” kata Pantur seraya mengingatkan bahwa “Einstein selama hidupnya tidak pernah punya mobil.”*
Penulis : P. HASUDUNGAN SIRAIT & NABISUK NAIPOSPOS
Sumber : Majalah TATAP edisi V, Jan-Feb 2008
http://www.silaban.net/2008/03/04/pantur-silaban-dari-snellius-ke-einstein/
==============
Lebih jauh dengan Pantur Silaban
Salomo Simanungkalit (Kompas)
PALING tidak ada empat hal yang berhenti dalam gerak waktu pada diri fisikawan ini: guyonnya yang autentik dan terus mengalir, asap rokoknya yang laten mengepul, butir kapur tulis yang terkelupas oleh papan tempat ia menoreh tanda matematik saban menjelaskan fisika, serta kemeja lengan panjang dan pantalon berukuran pas di tubuhnya yang tak kunjung kusut sepanjang hari. Begitulah Pantur Silaban 25 tahun silam, juga hari-hari ini.
Yang terus bergerak adalah usahanya mengenali dan menjelaskan fenomena, sejarah, dan masa depan alam dari tingkat renik sampai jagat raya. Baik untuk disampaikan kepada mahasiswanya maupun sejawatnya pada seminar nasional, simposium internasional seperti tahun-tahun lalu di lingkungan fisikawan teori antarbangsa di Trieste-Italia, Melbourne, dan New York. Doktor fisika Universitas Syracuse, Amerika Serikat (1971) dengan disertasi Null Tetrad Formulation of the Equation of Motion in General Relativity ini mengikuti perkembangan fisika teori dari era Newton, Maxwell, Einstein, sampai Penrose terentang 350 tahun dan sekarang, "Sedang mencari perusakan simetri apa yang bertanggung jawab menciptakan muatan listrik," katanya.
Fisikawan pertama Indonesia dalam Relativitas Umum ini tergolong langka di bidangnya, juga di kawasan Asia Tenggara. Guru besar fisika teori ITB per Januari 1995, kelahiran Sidikalang, 11 November 1937 ini pensiun akhir 2002. Namun, Ketua Departemen Fisika ITB Dr Pepen Arifin mempertahankan Silaban mengajar sampai kapan pun di sana. Ketua Kelompok Bidang Keahlian Fisika Teori ITB Dr Freddy P Zen mempertegas, "Kalau jurusan kekurangan ruang kerja, saya sediakan kamar saya untuk beliau."
Di lingkungan keluarga ia menebang folklor, "Rebung tak jauh dari rumpun." Ayahnya Israel Silaban dan ibunya Regina br Lumbantoruan adalah pedagang buta huruf, tapi Pantur terdidik sampai PhD lalu profesor di lembaga pendidikan terkemuka: ITB.
Keempat putrinya, buah perkawinan dengan Rugun br Lumbantoruan, sarjana dari perguruan tinggi negeri. Anna lulusan Ekonomi Universitas Padjadjaran; Ruth dokter spesialis saraf Universitas Padjadjaran; Sarah lulusan Teknik Sipil ITB dan magister Universitas Teknologi Chalmers, Swedia; dan Mary si bungsu sarjana geologi ITB. Tinggal Mary yang belum berkeluarga.
Nama putrinya berbau Semit, demikian pula ketiga cucunya: Joshua Bala, Jeremy Binsar Gultom, dan Joseph Gultom. "Saya memang terkesan dengan etos kerja Yahudi," katanya. "Anda tahu Syracuse itu universitas orang Yahudi. Hanya ada dua jenis manusia yang diterima di sini. Kalau bukan Yahudi, ya pasti orang pintar. You tahu saya bukan Yahudi."
Joshua untuk cucunya dari nama depan promotor utamanya, Joshua N Godlberg, yang sampai hari ini berhubungan baik dengan keluarganya. "Tahun depan saya ke New York sebab Goldberg 80 tahun," katanya.
Pada 30 Agustus lalu Rektor ITB Dr Kusmayanto Kadiman mendaulat Silaban menyampaikan kuliah populer terbuka untuk umum, Umur Alam Semesta, yang dihadiri 300 pengunjung dari berbagai kalangan.
Sebelumnya Anda bilang tak menyinggung Tuhan dalam ceramah itu? Mengapa?
Pertanyaan teologis selalu muncul ketika ditanyakan apa yang terjadi antara permulaan waktu dan Dentuman Besar yang hanya 10-43 detik itu. Ada dua pendapat. Yang pertama mengatakan saat itu sudah berlaku hukum-hukum fisika, yang lain mengatakan tidak berlaku. Stephen Hawking, yang kita akui pemikir besar, mengatakan dalam durasi pendek itu Tuhan bersembunyi. Tugas fisikawan mencari persembunyian Tuhan.
Memang ada pendapat yang mengatakan Semesta terbentuk kebetulan saja. Tak ada penciptanya. Saya hanya mau mengatakan selera saya berbeda dengan Hawking. Dia sering menyerempet ke ihwal yang doesn't make sense. Bagi saya, fisika bukan ilmu ketuhahan walau ada yang mengatakan teologi itu cabang fisika. Memang ada tiga pendapat tentang ini. Yang pertama: teologi dan fisika adalah dua hal berbeda. Yang kedua: teologi dan fisika adalah dua cabang dari satu pengetahuan yang nanti menuju kesimpulan sama. Yang ketiga: kedua ilmu itu bertentangan.
Ketika baca buku Menapak Jalan-Jalan Tuhan, saya jadi kacau dalam segala bidang, termasuk iman. I just want to be myself, I don't want to be a slave of Hawking, Penrose or Einstein.
Selain mengenai Tuhan, apa yang sering ditanyakan kepada Anda sebagai fisikawan?
Pertanyaan yang mempermasalahkan apakah teori Einstein benar atau salah. Saya selalu menjawab sebagai orang yang puluhan tahun bekerja dalam Relativitas Umum, saya tidak pernah mengatakan apakah teori Einstein benar atau salah.
Saya tak mau terulang kejadian pada Simposium XI Fisika Nasional di Yogyakarta dulu. Waktu itu fisikawan kita, Prof Achmad Baiquni, masih hidup. Rupanya ada orang yang mengklaim teori Einstein salah. Terus Baiquni minta saya, "Tolong kamu bantah." Saya jawab, "Soal salah-benar teori Einstein, saya tidak tahu. Cuma, kalau ditanyakan teori Einstein itu seperti apa, saya akan coba jelaskan. Yang penting kita jangan menyelewengkan ide-ide Einstein."
Untuk itu, mari kita baca tulisan Einstein dalam The Meaning of Relativity, buku yang ditulis Einstein sendiri, bukan orang lain tentang teori itu. Jawab orang itu, saya tidak mau baca karena dalam bahasa Inggris, bahasa orang kafir. Ini susah!
Einstein sering salah dikutip?
Tampaknya begitu. Ada yang bilang, kesalahan Einstein terletak pada pernyataan: tak ada yang bergerak melebihi kecepatan cahaya. Saya bilang tunggu dulu.
Semua teori dibangun entah oleh prinsip, aksioma, dalil, atau apa saja namanya. Prinsip Relativitas Khusus: semua sistem inersia ekivalen satu sama lain. Artinya, kalau kita punya dua sistem inersia maka yang terjadi di sistem satu dapat terjadi juga di sistem dua. Tegasnya, kalau di sini bisa terjadi pembunuhan, di sana bisa juga terjadi pembunuhan. Segala fenomena fisika yang terjadi di sini bisa juga terjadi di sana.
Prinsip kedua: laju cahaya dalam vakum konstan, tidak bergantung pada pengamat, tidak bergantung pada sumber. Apakah sumbernya loncat-loncat atau pengamatnya menari, laju cahaya konstan. Sepanjang yang saya tahu, Einstein tak pernah mengatakan "dengan catatan bahwa laju cahaya tak bisa dilampaui apa pun". Itu sebabnya ketika fisikawan Sudarshan mengatakan partikel tachyon bergerak melebihi laju cahaya, ia tidak melanggar prinsip Relativitas Khusus. Sifat inheren cahaya yang seperti ini merupakan revolusi pemikiran penting dalam fisika yang dikemukakan Einstein.
Anda mengupayakan ungkapan Indonesia untuk menjelaskan gravitasi: kalau sudah milik tak akan ke mana?
Saya lama merenungkan itu. Di alam kita kenal empat macam interaksi: gravitasi, elektromagnetik, kuat, dan lemah. Gravitasi adalah fenomena paling lama dikenal orang, tapi sekarang pun masih misteri. Teori gravitasi pertama berasal dari pandangan Yunani kuno yang mengatakan sebuah benda jatuh ke Bumi karena ia milik Bumi. Mirip dengan ungkapan yang kita kenal: kalau sudah milik tak akan ke mana.
Saya tak mau mengatakan teori Yunani kuno salah. Kemarin saya bilang kepada Dr Freddy, ada kemungkinan teori itu betul. Buktinya: beberapa waktu lalu ponsel saya tertinggal entah di mana. Saya anggap hilang. Orang yang menghubungi saya mengatakan ponsel itu tak pernah diangkat lagi. Saya coba rekonstruksi beberapa kemungkinan di mana saya berada ketika ponsel tertinggal. Di rumah tak ada sebab kalau tak menemukannya, saya coba hubungi dengan telepon rumah untuk mengetahui di mana benda itu sembunyi.
Saya mulai menelusuri harga ponsel baru. Punya saya itu murah. Hanya Rp 480.000. Saya pergi ke Jakarta dan ketemu teman, rupanya ponsel itu tinggal di tempatnya. Dia temukan di bawah buku. Saya pikir kalau sudah milik tak akan ke mana ada benarnya. Kok jauh begitu, masih ketemu?
Jadi mengenai teori, urusannya bukan benar salah?
Ada yang bertanya kepada saya, "Bagaimana Bapak mempelajari sesuatu yang tak Bapak yakini benar?" Saya balik bertanya, "Anda yakin yang Anda pelajari itu semua benar?"
Yang kita anggap benar sekarang belum tentu benar 100 tahun mendatang. Sering kita menganggap sesuatu benar karena diungkapkan seorang terhormat, terpandang. Menurut saya, seterhormat apa pun seseorang, banyak yang tak ia ketahui tapi diketahui orang yang sama sekali tak berpendidikan. Saya mau merombak tradisi panutan.
Socrates mengklaim kaki laba-laba enam dan bertahan seribuan tahun. Karena Socrates yang ngomong, sudah jaminan mutu. Begitu toh? Setelah sekian lama seorang ahli biologi-kalau tak salah Lamarck-menghitung. Kaki laba-laba ternyata delapan. Dulu apa saja yang dikatakan Soeharto jaminan mutu, tapi sekarang? Kenapa orang cenderung menghukum Galileo? Karena orang banyak lebih percaya kepada tokoh gereja Katolik waktu itu, yang dengan kebesaran agama mengklaim diri sumber kebenaran.
Anda sering bilang kita perlu belajar dari alam menjalani hidup. Apa contohnya?
Banyak. Salah satu, teori atom Bohr yang mengajari kita bahwa alam antikorupsi. Model Bohr begini. Atom terdiri dari inti di pusat dan elektron yang mengitari inti. Orbit kitaran itu dinamakan kulit: pertama, kedua, dan seterusnya. Energi di kulit ke-n dinyatakan dengan En = (-13,60 eV/n)2. Jadi, energi di kulit pertama -13,60 eV, kedua -3,40 eV, ketiga -1,51 eV.
Kalau ditembak dengan sinar berenergi 10,20 eV, elektron itu baru mau pindah dari kulit kedua ke kulit pertama. Dia akan naik ke sini karena dibutuhkan persis 10,20 eV, yakni selisih 13,60 eV dengan 3,40 eV, untuk pindah orbit. Semacam promosi jabatan untuk para birokrat. Tak boleh kurang tak boleh lebih.
Bagaimana kalau energi diberi 11 eV? Elektron akan bilang saya hanya butuh 10,20 eV. Yang 0,80 eV buang saja. Bagaimana kalau kamu kantongi dulu menunggu tambahan? Dia tidak akan mau. Jadi, alam mengatakan jangan pakai melebihi apa yang kau butuhkan.
Apa masalah besar bangsa kita?
Salah satu, kualitas kita yang makin rendah dalam ilmu dasar. Saya mau katakan, kualitas lulusan pascasarjana fisika lima tahun terakhir ini lebih rendah ketimbang kualitas sarjana fisika semasa Anda tahun 1980-an. Bayangkan banyak yang tak mengerti bagaimana menginversikan matriks. Dalam hal ini, di ASEAN, Indonesia peringkat 7 dari 10. Di bawah kita hanya Laos, Myanmar, dan Kamboja. Vietnam di atas kita. Sebelum Perang Vietnam punya banyak orang pintar. Saya kira Vietnam hanya bisa dipertandingkan dengan Singapura.
Saya pernah tanya, negara mana yang kuat di dunia ini tapi ilmu dasarnya lemah. Enggak ada. Rusia kuat, ilmu dasarnya kuat. Demikian pula Inggris, Perancis, apalagi Amerika Serikat.
Beberapa murid pintar SMA dari kalangan Batak pernah datang ke saya ingin belajar serius fisika. Penghalangnya justru orangtua mereka. "Kalau lulus, kamu mau makan apa? Paling kamu jadi guru." Begitu ancaman orangtua. Dari situ kelihatan, profesi guru dilecehkan. Padahal, yang menentukan maju-tidaknya sebuah bangsa adalah guru.
Waktu pilih Fisika, enggak ada masalah dengan orangtua?
Ayah saya yang pedagang dan buta huruf hanya mengatakan, "Kamu terserah pilih apa. Kami hanya bisa bantu menyekolahkan. Saran saya ambil bidang yang kamu suka." Tak disuruh pilih yang menghasilkan uang sekian. Ibu saya, yang buta huruf tapi cekatan menghitung uang, menyarankan saya pilih kedokteran. Rupanya dia lihat setiap mengobati pasien, dokter dapat uang. Waktu itu memang mudah kita memilih mau kuliah apa. Orang masih sedikit. Namun, jangan salah, mutu lulusan SMA dulu jauh lebih baik daripada yang sekarang.
Ada juga minat masuk teologi. Anehnya, saya sakit selama di Jakarta mempersiapkan diri masuk ke sana. Saya masuk Fisika ITB dan lulus dalam tempo 6,5 tahun, waktu minimal saat itu untuk lulus sarjana. Kalau saya ditanya mengapa belajar fisika, jawaban saya: karena memang saya menyukainya.
Pernah berpikir meninggalkan fisika?
Begini. Saya pernah baca tulisan Carnegie tentang pengusaha ikan. Suami istri itu pekerja keras, mengumpulkan modal sedikit demi sedikit, lalu berunding bagaimana kalau buka usaha. Setelah melihat geografi mereka tinggal, kesimpulannya: buka usaha ikan. Keduanya berunding memberi nama perusahaan itu: Di sini Kami Menjual Ikan Segar.
Usahanya berhasil setelah tekad bertahun-tahun dengan nama begitu. Suatu hari datang pembeli. Katanya, "Panjang sekali merek usahamu. Kamu menjual ikan di sini, bukan di tempat lain, untuk apa kata di sini." Masuk akal. Dicoretlah kata itu.
Datang lagi pembeli lain. "Mereknya kok Kami Menjual Ikan Segar. Sudah pasti kalian yang jual, untuk apa kami?" Dicoretnya kami. Didengarnya orang lain. Hari lain datang lagi pembeli. "Kenapa begitu panjang nama ini, kamu letakkan ikan di sini untuk dijual, untuk apa kata menjual?" Dicoretnya kata itu. Tinggal Ikan Segar. Datang lagi pembeli dan bertanya, "Kamu enggak akan jual ikan busuk?" Dicoretnya segar. Tinggal Ikan. Pembeli terakhir datang, "Dari jauh saya sudah mencium ikan, untuk apa kamu menamakan toko ikan?"
Setelah itu mereka gulung tikar. Artinya, sesuatu yang dipikirkan lama, karena mendengar saran orang lain, bisa berubah dan hancur. Tentu tidak salah mendengar saran orang lain, tapi bukan untuk mengubah keputusan yang sudah bertahun-tahun kita pikirkan. Saran itu semua logis.
Belajar fisika selalu direcoki dengan pertanyaan begini. Kalau kamu fisikawan, berapa sih uang yang kamu dapat? Lihat orang itu tiap tahun bisa ganti mobil, tambah rumah. Kalau dia bisa, masa kamu enggak bisa. Masuk akal juga. Kalau saya harus meninggalkan disiplin Relativitas Umum yang saya kerjakan sampai tingkat PhD, habislah semuanya. Cerita Carnegie itu suatu pendidikan.
Anda mengajar dengan kapur, sementara dosen lain dengan proyektor dan lain-lain. Mengapa?
Belakangan memang ada kebiasaan dosen pakai transparan dan proyektor. Ada satu segi kecil yang menguntungkan di sini. Katanya menghemat waktu supaya bahan yang diajarkan meliput semua yang ditentukan dalam suatu semester. Tapi, dalam belajar ilmu dasar umumnya, fisika khususnya, ada ungkapan Do not cover physics, but discover it.
Kedua, segi negatif, banyak dosen yang seakan-akan mempersiapkan bahan kuliah dengan transparan atau disket. Mahasiswa habis waktu mencatat. Sesungguhnya dosen itu datang tanpa persiapan. Dia hanya menyorongkan bahan untuk dicatat mahasiswa.
Saya lain. Guru saya mengatakan "Jangan lakukan itu!" Persiapkan dirimu sebaik-baiknya. Yang tak tahu katakan tak tahu, sebab kita tak bisa menebak pertanyaan mahasiswa. Sikap seperti ini paling efisien dengan papan tulis. Roger Penrose sampai sekarang pakai papan tulis. Oktober 2002 waktu seminar di Syracuse, semua orang mengatakan you are the old fashion man karena masih presentasi dengan papan tulis. Dia katakan tak peduli.
Namun jelas, kalau datang ke kelas dengan persiapan mengajar, Anda justru tak perlu bawa apa-apa. Saya selalu berusaha masuk kelas sarjana maupun pascasarjana tanpa secarik kertas, walau tentang Medan Kuantum dan Relativitas Umum. Yang penting, saya katakan di kelas hari ini kita membicarakan ini, tanya saja yang berhubungan dengan itu sepanjang kuliah. Kalau bisa kita jawab, ya kita jawab.
Anda punya segudang lelucon. Dari mana?
Saya suka dengar dan baca joke yang ada moral ceritanya. Kadang saya ciptakan sendiri. Sering manusia dengan segala cara membenarkan diri. Jarang orang membuka kartu bahwa ini kesalahan saya. Lelucon sering menguliti kita dari bungkus kemunafikan.
Kemarin Anda kutip Alexander Solzhenitsyn tentang bahaya kekuasaan. Baca sastra juga?
Saya baca buku apa saja. Yang selalu saya ambil pesan moralnya. Dari lagu juga saya dapat. Pernah dengar lirik lagu Amerika: How many ears must one man have before he can hear people cry? Enak lagunya, tapi mari merenungkan artinya. Sebelum bisa mendengar rintihan orang lain, berapa telinga yang harus dia punya? Saya bandingkan dengan kisah Alkitab, Yesus menyembuhkan orang tuli. Kita sekarang tidak mendengar jeritan orang. Kitalah yang tuli. Lalu siapa yang menyembuhkan kita yang tuli?
Dengar musik klasik?
Saya suka, entah Bach entah Beethoven. Menurut saya, musik instrumental pun menyuarakan pesan moral melalui nada, irama, dinamika. Hanya saja, mengapa Jerman yang banyak menghasilkan musik, sastra, filsafat yang sarat makna bisa melahirkan Hitler yang beringas dan orang kejam. Barangkali ada kaitan dengan hukum aksi-reaksi dalam fisika: di mana timbul sesuatu yang positif, selalu diusahakan timbul aspek jahat yang akan menghancurkan yang baik.
Orang fisika akhirnya dekat dengan soal kehidupan. Bisa kita rasakan dari tulisan Einstein, Weinberg, Capra, Gell-Mann.
Saya kira benar. Saya selalu katakan orang fisika yang masih muda, masih ingusan, biasanya arogan. Tahu rumus kuantum, dia sombong. Namun, hampir semua orang fisika, makin tua makin merendah.
Sumber : Kompas (17 September 2004)
http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?cetakartikel&1096193952
Professor Pantur Silaban, Ph.D yang saya kenal
Ahli fisika Pantur Silaban mengaku merasa terkejut meraih Penghargaan Achmad Bakrie 2009 kategori sains. Alasannya, selama menggeluti dunia fisika, Pantur justru merasa semakin kecil di hadapan Sang Pencipta Alam. “Saya masih merasa tidak ada apa-apanya,” kata Pantur kepada VIVAnews usai acara Penghargaan Achmad Bakrie di Hotel Nikko, Jakarta, Jumat kemarin, 14 Agustus 2009.
Saya mengenal Prof. Pantur Silaban sebagai seorang scientist yang sangat idealis, pekerja yang tekun dan keras, ia juga seorang perokok berat. Ia punya selera humor yang cukup tinggi.
Perkenalan saya dengan Prof. Pantur Silaban, Ph.D, terjadi ketika saya menjadi mahasiswa di Bandung. Ketika itu, Pantur Silaban Ph.D belum mendapatkan gelar profesornya. Sebagai mahasiswa yang bermarga Silaban, saya dan senior saya sering bertandang ke rumah beliau di kompleks perumahan dosen ITB di Jl. Sangkuriang, Bandung. Di rumahnya, ia mempunyai perpustakaan pribadi yang cukup besar. Berbagai buku fisika dan matematika lengkap disana.
Meski sama-sama bermarga Silaban, secara struktur kekerabatan (partuturan), hubungan saya dengan beliau lebih dekat melalui Ny. Pantur. Berdasarkan struktur partuturan, ibu saya yang boru Sihombing marnamboru kepada Ny. Pantur. Sehingga dengan begitu saya harus memanggil “ompung” kepada beliau. Dari garis “partuturan marga” Silaban, secara struktur, saya sudah “cukup jauh” dengan Prof. Pantur.
Dalam pertemuan-pertemuan kami yang terjadi dalam selang beberapa tahun, sering terjadi diskusi mulai dari yang ringan-ringan, sampai ke hal-hal yang mendalam tentang beberapa hal. Kala itu kami sering menyebutnya “Pak Doktor” (karena beliau bergelar Ph.D dari Syracuse University, New York). Tentu saja yang kami diskusikan kebanyakan adalah masalah-masalah umum, bukan spesialisasi beliau di bidang fisika kuantum.
“Pak Doktor” memang adalah ahli fisika kuantum pertama di Indonesia. Tanpa sadar, kadang-kadang diskusi kami bisa nyerempet ke masalah ilmu fisika. Kalau sudah begitu saya dan teman-teman, segera melakukan “switching” pembicaraan ke hal-hal lainnya. Siapa yang sanggup berdiskusi masalah ilmu fisika kuantum dengan beliau, dia memang pakarnya.
Menurut saya ilmu fisika kuantum sangat sulit dicerna, ilmu itu memerlukan pemahaman matematika dan ilmu fisika tingkat tinggi. Membayangkan rumus-rumus fisika yang rumit itu, saya sudah tak mampu. Meski begitu, belakangan, Prof. Pantur sering tampil sebagai pembicara di berbagai seminar, dan beliau bisa menjadikan ilmu fisika kuantum dan ilmu fisika relativitas, terasa semakin “membumi“. Beliau sering menerangkan teori relativitas dengan bahasa orang awam.
Keseharian Prof. Pantur, sangat sederhana, ia ceplas-ceplos dalam berbicara. Ia adalah pengikut Yesus yang rajin dan taat. Kemampuan Pak Doktor tidak hanya dalam ilmu fisika, tapi ia juga bisa menjadi “ulama” untuk mengajak umat mengenal Tuhan lebih dekat. Ia bisa menjelaskan isi Alkitab dengan rinci dan bagaimana melaksanakannya.
Sekarang ini, Professor Pantur menikmati masa pensiunnya dengan santai. Ke empat putrinya sudah “jadi orang“, sehingga ia punya banyak waktu untuk melakukan hobbynya main catur. Saya ingat, kalau sudah main catur, Pak Doktor sanggup main terus menerus selama beberapa jam. Ia akan mengajak siapa saja untuk bermain catur. Dalam berbagai pertemuan keluarga, seperti arisan, sering beliau pulang berjam-jam setelah peserta arisan lainnya sudah pulang. “Ompung“, Ny. Pantur dengan setia menunggui suaminya, sampai selesai bermain catur. Selama itu pula, Pak Doktor tak henti merokok. Ia adalah perokok berat.
Bagi orang yang baru mengenal beliau, orang mungkin akan merasa bahwa Pak Doktor orang yang agak arogan. Tapi, kalau sudah semakin lama, mengenalnya, ia adalah pribadi yang enak diajak bicara. Prof. Pantur punya selera humor yang tinggi, ia sering membuat orang terkekeh-kekeh dengan joke-joke nya. Ternyata ada banyak joke yang berbau ilmiah, dan berbau fisika.
Ia adalah sosok yang idealis, ulet bekerja. Penghargaan Achmad Bakrie, yang diterimanya tahun ini, adalah suatu hal yang wajar, mengingat keahlian beliau di bidangnya. Professor Pantur Silaban, Ph.D adalah ahli fisika yang sangat langka di negeri ini.
http://togarsilaban.wordpress.com/2009/08/21/professor-pantur-silaban-ph-d-yang-saya-kenal/
==============
Prof. Pantur Silaban, PhD. : Hukum Alam Ajarkan Jangan Korupsi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar