Tentang Penulis
Agus Purwanto, D. Sc. lahir di Jember pada tahun 1964. Menyelesaikan pendidikan S1 (1989) dan S2 (1993) di jurusan fisika Institut Teknologi Bandung (ITB), S2 (1999) dan S3 (2002) di jurusan fisika Universitas Hiroshima Jepang.
Sejak mahasiswa S1 di kalangan teman-teman Salman, penulis disapa Gus Pur. Sedangkan teman-teman penulis di jurusan fisika kerap memanggil dengan sebutan CakLaurin.
Bidang minatnya adalah neutrino, teori medan temperatur hingga, dimensi ekstra dan kelahiran jagad raya asimetrik atau baryogenesis. Penelitiannya pernah dipublikasikan di Modern Physics Letter, Progress of Theoretical Physics, Physical Review, dan Nuclear Physics. Selama kuliah S1 aktif menjadi asisten Laboratorium Fisika Dasar, mata kuliah Fisika Dasar, Fisika Matematika, Gelombang dan Mekanika Kuantum. Pernah mendirikan dan menjadi ketua kelompok diskusi Fisika Astronomi Teoritik (FiAsTe) ITB, 1987-1989. Aktif menulis di media massa seperti Kuntum, Suara Muhammadiyah, Mekatronika, Kharisma, Simponi, Surya, Republika dan Kompas.
Sejak tahun 1989 menjadi staf pengajar di jurusan fisika FMIPA Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Saat ini mengepalai Laboratorium Fisika Teori dan Filsafat Alam (LaFTiFA) ITS dan juga menjadi anggota Himpunan Fisika Indonesia dan Physical Society of Japan.
Buku-buku yang telah ditulis:
1. Pengantar Fisika Kuantum (1997)
2. Metode HIKARI: Arab Gundul, Siapa Takut? (2005)
3. Fisika Kuantum (2006)
4. Fisika Statistik (2007)
Kontak:
purwanto@physics.its.ac.id
http://purwanto-laftifa.blogspot.com/
=============Wawancara Agus Purwanto, D.Sc. : Sains Bukan Milik Barat
2 09 2008“AYAT-AYAT SEMESTA”. Demikian judul buku karya Agus Purwanto, doctor fifiks lulusan Universitas Hiroshima ,Jepang. Ayat-ayat Semesta (AAS) memang tidak “meledak” sebagaimana buku “Ayat-Ayat Cinta”(AAC) karya Habiburahman el-Shirazy. Namun, AAS boleh jadi satu-satunya buku yang membahas secara rinci ayat-ayat semesta (kauniyah) yang terdapat dalam al-Quran. Al-Quran ternyata banyak membahas ilmu pengetahuan seperti : garis dan waktu edar matahari, bulan, bumi, susunan kimia manusia, siklus air, kehidupan semuat, madu, dan lain sebagainya. Penemuan-penemuan ilmiah di abad modern memertegas dan membuktikan kebenaran ayat-ayat al-Quran yang diturunkan 14 abad silam.
Untuk mengetahui lebih jauh ayat-ayat semesta yang terdapat dalam al-Quran dan mengapa Agus membukukannya, wartawan Majalah Gontor, Fathurroji NK, mewawancarai dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya itu. Berikut petikannya.
Bagaimana Anda melihat ayat-ayat semesta (kauniyah)?
Ayat-ayat semesta dalam arti ayat-ayat khauniyah dalam Al-Qur’an merupakan ayat-ayat yang merana, karena diabaikan umat Islam dan praktis tidak pernah dibahas di dalam pengajian-pengajian atau seminar-seminar Islam.
Sejak kapan Anda mulai mendalami ayat-ayat semesta?
Sejak SMA saya merasa penasaran terhadap misteri jagad raya, sedangkan tertarik dan ingin ngaji ayat-ayat kauniyah sejak mahasiswa jurusan fisika ITB. Saya masuk ITB tahun 1983. Tahun 1990 maunya beli kitab tafsir yang membahas ayat-ayat kauniyah dan atas rekomendasi dari seorang kiai saya beli tafsir Fakrur Razi tulisan Imam Muhammad ar-Razi Fakhruddin ibn Allam Dhiyauddin, yang 16 jilid tebal. Tapi ternyata tidak sesuai dengan yang saya harapkan. Atas rekomendasi sekretaris DDII Pusat, Bapak Nabhan Husen, yang hadir di masjid ITS, saya mendapat tafsir yang sesuai keinginan yaitu tafsir al-Jawahir, tulisan Syeikh Jauhari Thanthawi guru besar Universitas Kairo. Kitab ini saya dapatkan di toko kitab ABC Garut, Jawa Barat. Kitab ini penuh gambar tanaman, obyek langit, nebula dan apolo bahkan juga tulisan kanji.
Mengapa Anda tertarik dengan ayat-ayat semesta?
Awalnya tertarik pada banyak hal seperti sastra, sejarah, filsafat dan lam semesta, tapi kemudian menajam sesuai dengan minat bidang studi. Terlebih lagi ketika diterima di Jrusan Fisika ITB maka jalan formal untuk memahami fenomena jagad raya menjadi terbuka.
Bukankah mengkaji ayat-ayat semesta rumit?
Betul. Justru di sini saya merasa tertantang sekaligus ingin melengkapi kajian yang jarang dilakukan orang atau ulama. Waktu SMA saya ingin melanjutkan studi di jurusan fisika sehingga teman-teman melihat saya sebagai orang aneh sebab fisika selain sulit, juga bidang kering, yang paling-paling setelah lulus jadi guru. Saya masuk fisika selain tertarik pada peristiwa-peristiwa langit dan bom juga karena nama-nama ahli fisika yang saya tahu saat itu tidak ada yang Muslim. Singkat kata, dlu ketika SMA saya ingin tercatat sebagai ahli fisika Muslim yang dirujuk dan ditulis di buku-buku pelajaran supaya Islam tidak identik dengan keterbelakangan.
Pendekatan apa yang Anda gunakan dalam mengkaji ayat-ayat semesta?
Pendekatan teks. Teks dipahami secara harfiah atau apa adanya terlebih dahulu. Lalu pemahaman harfiah itu coba dipahami apa adanya. Misalkan, dalam surat an=-Naml: ayat 18, kata namlatu dipahami sebagai semut betina, bukan sekadar seekor semut seperti pemahaman konvensional yang umum. Atau al-Hadid 25: anzalnaa al hadiida diartikan telah menurunkan besi bukan menciptakan besi seperti dalam terjemah al-Quran oleh Departemen Agama.
Kapan Anda mendapatkan ide untuk menulis buku Ayat-Ayat Semesta?
Waktu itu saya sedang menulis buku ilmu falak dan telah mencapai sekitar 70 persen. Buku itu memang khusus untuk pencinta atau ahli falak. Penulisan buku ilmu falak ini tetap akan saya lanjutkan- meski tidak terikat waktu selesainya—dengan tujuan yang sedikit berbeda dari tujuan awalnya. Saya ingin ilmu falak menjadi mata pelajaran alternative yang memadkan konsep imiah, filsafat, dan metoda eksperimen di SMA Islam. Syujur-syukur bila dilengkapi dengan teropong sehingga orang awam menjadi lebih tertarik dan apresiasi terhadap ilmu pengetahuan, khususbya ilmu pengetahuan alam yang khusus membahas ayat-ayat semesta. Teropong juga akan mengubah pandangan orang terhadap ilmu atau teori dan alam secara umum
Saat mendalami ayat-ayat semesta, apa yang Anda rasakan?
Semakin merasakan kebenaran dan kedalaman al-Quran sehingga ingin semakin akrab dengan al-Quran, dan semakin tahu bahwa al-Quran tidak mungkin selesai dipahami.
Berapa lama Anda menilis buku Ayat-Ayat Semesta?
Sejak terlintas untuk menulis buku AAS sampai naskah dikirium ke penerbit prlu waktu hamper delapan bulan. Dengan catatan, sebagian naskah sudah ada dan tinggal mengubah redaksi yang sesuai dengn misi AAS, sebagian sudah ada di kepala tapi belum ditulis, dan sebagian ide muncul ketika dalan proses menulis. Itupun ketika melacak ayat-ayat saya dibantu oleh dua mahasiswa bimbingan saya.
Apa pesan yang ingin Anda sampaikan dalam buku tersebut?
Agar orang Islam berbondong-bondong memelajari, mengembangkan, dan menguasai sains eksakta seperti matematika, fisika, kimia, dan biologi. Pesan bahwa penguasaan sains adalah tugas dari Allah, Sang Khalik. Sains bukan milik orang Barat. Kedua, melalui ayat-ayat kauniyah yang relative lebih mudah diuji kebenarannya di lapangan, mari kita hidupkan lagi pemahaman actual terhadap al-Quran, seperti contoh-contoh yang akan saya sebut nanti soal seut dan diturunkannya besi dari langit. Kita tidak boleh terlalu terkungkung oleh pemahaman kata berdasar kamus yang dibuat para ahli ekian abad yang lalu.
Buku tentang ayat-ayat semesta sangat jarang. Bagaiman tanggapan Anda?
Bukan sekadar jarang, malah hamper tidak ada. Kita dapat melihat di toko-toko buku, banyak sekali buku tentang Islam tapi umumnya membahas masalah social, ekonomi, psikologi, dan sastra. Buku-buku tentang motivasi hidup dan mencapai kebahagiaan hidup menjadi buku-buku laris. Patut kita syukuri meski juga harus dikritik kok bukunya Cuma tema itu-itu saja. Nah, kritik itu kan mengena kepada saya yang doctor fisika. Saya bisa apa dengan kenyataan tersebut? Sya bertekad harus menjelaskan hasil sais fiika kepada nasyarakat luas, syukuyra-syukur sekalian bisa menghidupkan kembali (kajian) al-Qur’an yang mandeg.
Berapa jumlah ayat dalam al-Qur’an yang membahas tentang ayat-ayat semesta?
Kitab yang menjadi acuan saya adalah kitab tafsir al-Jawahir tulisan Syekh Jauhari Thanthawi dari Mesir. Di dalam mukadimah kitab tafsir ini disebutkan bahwa di dalam al-Qur’an ada 750 ayat kauniyah dan hanya 150 ayat hokum. Sejak saya memiliki kitab tersebut tahun 1991, saya sering menyitir data tersebut sampai akhirnya tersentak mengapa kok Cuma menyetir tidak tidak menghitung sendiri, mengumpulkan dalam satu buku lalu membahasnya. Jadi 15 tahun saya Cuma jadi tukang sitir, mirip keledai seperti sindiran kitab suci. Nah, tahun 2007 lalu mulailah saya menghitung dengan dibantu dua mahasiswa saya untuk pembanding. Hasilnya 1.108 ayat, angka yang jauh lebih besar dari Syekh Thanthawi maka selanjutnya saya seleksi ulang sampai sekitar tujuh kali.
Saya pilah ayat-ayat mana yang merupakan “ayat kauniyah” dan menuntun kepada konstruksi ilmu kealaman dan mana yang bukan. Tidak semua ayat yang memuat kata elemen alam, seperti langit dan bumi, merupakan ayat kauniyah yang membawa pada bangunan ilmu kealaman. Sebagai contoh, QS asy-Syuura 42:4. Di dalam ayat ini langit dan bumi menurut saya tidak memberi informasi apa-apa selain menerangkan kekayaan dan kepemilikan Allah SWT. Ayat-ayat seperti ini di dalam klasifisikasi abjad diberi tanda *) yaitu QS 42:4* dan did dalam klasifikasi surat tidak ditampilkan.
Kita bandingkan ayat tadi dengan ayat 25 surat al-Ruum. Di dalam ayat ini terdapat spesifikasi dari langit dan bumi yang dapat dieksplorasi lebih lanjut, yakni keadaan berdirinya dengan iradah Allah SWT. Pertanyaan sederhana yang dapat diajukan adalah bagaimana proses dan mekanisme berdiri tersebut, memerlukan waktu berapa lama dan kapan, dan iradah Allah muncul dalam bentuk apa. Pemilahan ini memberikan jumlah akhir ayat kauniyah yaitu 800 ayat.
Anda juga menulis buku tentang belajar dan memahami bahasa Arab?
Betul. Tentang cara praktis belajar nahwu-sharaf ala mahasiswa yang katanya sibuk. Judulnya, Metoda Hikari, Arab Gundul Siapa Takut?
Apa yang ingin Anda sampaikan dalam buku tersebut?
Bahasa Arab bisa dipahami oleh siapa saja yang mau, bukan hanya orang pesantren. Orang yang tidak pernah nyantri seperti saya ini masih mungkin untuk memahaminya.
Mengapa Anda menulis itu, bukankan Anda focus di fisika? Adakah kaitannya?
Ingin berbagi pengalaman. Saya ingin orang-orang non-pesantren yang ingin mempelajari nahwu-sharaf secara otodidak tidak mengulangi kesulitan seperti yang saya alami. Tidak ada kaitannya secara langsung dengan fisika, tetapi pemahaman kita tentang al-Qur’an menjadi tidak utuh tanpa bahasa Arab. Terjemah saja sangat tidak memadai. Misalkan, di dalam kitab suci kadang digunakan fi’il madhi kadang fi’il mudhari’ untuk menceritakan penciptaan-penciptaan. Jelas, pemilihan jenis kata kerja dalam cerita penciptaan bukanlah hal remeh yang dapat ditukar-tukar, karena secara factual memang menceritakan waktu peristiwa yang pasti juga bereda.
Apakah Anda selalu the best di sekolah?
Tidak. Sesekali saja. Itu pun hal yang khusus misalnya matematika. Secara umum saya tidak pernah menjadi the best karena saya hanya tertarik pada hal-hal tertentu dan tidak tertarik pada hal-hal tertentu lainnya. Dan, bila sudah tidak tertarik, ya, sya tinggalkan.
Sebagai ganti the best, kepada mahasiswa saya sering katakana : if you are not the best be the first.Jiwa kepeloporan perlu tetap ditumbuhkan.
Bagaiman cara Anda belajar?
Pilih buku yang menarik, misalnya tulisan tidak rapat dan banyak gambarnya. Buku dibaca berulang-ulang. Saya ingat cerita tentang al-Ghazali bahwa dia kalau baca suatu subyek kadang sampai 40 kali kalau tetap tidak ngerti, ditinggalkan. Eksrem ya? Saya tidak sebanyak itu, tapi yang jelas harus diulang-ulang. Kalau bidang eksakta, harus secara motorik yakni dengan menulis, baik menurunkan atau membuktikan rumus serta menyelesaikan soal-soal. Seperi saya tulis di buku AAS, sedikitnya 10 halaman setiap hari.
Bagaimana Anda mendidik anak-anak?
Secara konensional. Tiga anak pertama saya ajari sendiri ngaji sampai tamat Iqra 6. Dua lainnya masih TK dan bayi. Dua anak terbesar saya simak sendiri dalam membaca al-Quran 30 Juz sampai khatam. Semua anak saya pernah mendengan bacaan al-Qur’an 30 Juz ketika bayi yakni sampai usia satu bulan. Dua anak pertama mendengar kaset tartil sedangkan tiga anak lainnya saya bacakan sendiri masing-masing satu bulan. Sekarang kalau pagi saya berusaha membangunkan mereka untuk shalat Subuh berjamaah di masjid, selain Magrib dan Isya.
Agus Purwanto dilahirkan di Jember, Agustus 1964. Hobinya mancing, menulis, dan baca puisi. Dari perkawinannya dengan Hanifah, Agus dikaruniai lima anak \: Fauzan atsari, Fathiyul Hahmi, Farisi Fahri, Fairuz Fuadi, dan Fikri Firdausi.
Agus lulus pendidikan sarjana(S1) di jurusan Fisika Institut teknologi Bandung(ITB) tahun 1989, dan S2 tahun 1993. Ia kembali menempuh program S2 di jurusan Fisika Universitas Hiroshima Jepang, dan lulus 1999. Gelar doctor fisika juga ia raih di Hiroshima(2002).
Staf pengajar Jurusan Fisika FMIPA ITS Surabaya itu, kini mengepalai Laboratorium Fisika Teori dan Filsafat Alam (LaFTiFA) ITS, dan menjadi anggota Himpunan Fisika Indonesia dan Physical Society of Japan.
(Edisi 05 Tahun VI – Ramadhan 1429/September 2008, hal 33-35)
http://ayatayatsemesta.wordpress.com/2008/09/02/wawancara-agus-purwanto-dsc-sains-bukan-milik-barat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar