Sabtu, 17 Juli 2010

Peran Strategis Muslim Dalam Jihad Teknologi

Artikel ini sejatinya adalah ulasan balik mengenai rekonstruksi pemahaman urgensi jihad yang secara integral terkait dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam konteks Indonesia. Karena bukan menjadi rahasia umum bahwa Indonesia secara nyata jauh tertinggal bukan hanya dari negara maju seperti Amerika, Jepang, atau Inggris (dan negara eropa lainnya), tetapi juga terhadap Korea Selatan & Utara, Taiwan, Hongkong, Singapura, bahkan Malaysia dan India.

Sementara itu, taring imperealisme dan kolonialisme yang selalu diperlihatkan Amerika kini telah menancap dalam mayoritas negara-negara muslim seperti Palestina, Afghanistan, lalu Irak, sebentar lagi Suriah, dan Iran. Telah nampak jelas bahwa dibalik keserakahan dan kedigjayaan Amerika adalah kemampuan teknologinya yang sangat canggih, dan pengembangan ilmu mutakhir yang diimplementasikan dalam strategi perang dan ekspansi mereka. Sehingga penguasaan medan laga dapat diperhitungkan secara akurat untuk mematikan langkah perlawanan dari negara muslim manapun.

Oleh karena itu, apabila (pemuda) Indonesia tetap terbuai oleh kemajuan teknologi yang sengaja mereka tebarkan kepada kita sebagai bagian dari ghazwul fikr tanpa mampu mengembangkan potensi ilmu pengetahuan terapan, maka bukan tidak mungkin apabila negara lain akan melumat Indonesia di masa mendatang. Inilah panggilan sejati yang telah oleh firmankan dalam surat At Taubah ayat 41, bahwa kita memiliki kewajiban untuk mempersiapkannya sedini mungkin. Dan berupaya mengembalikan sejarah seperti yang telah ditorehkan Baginda Rasul, para sahabat, dan para tabiit tabiin dalam masa keemasan Islam.

Berikut ini adalah paparan Dr. Mulyanto, M.Eng dalam salah satu artikelnya mengenai ‘Irak dan Urgensi Jihad Teknologi*’. Mudah-mudahan informasi ini layak untuk dibaca oleh pemuda muslim dan para du’at ilallah sebagai bekal untuk lebih intens dalam memahami aspek ilmu pengetahuan dan teknologi ini.

***

Sun Tzu-filosof militer legendaris Cina yang hidup di abad ke-6 SM-memberi petuah, “Kenali musuh dan kenali diri sendiri, maka dalam seratus pertempuran kalian tidak akan mengalami bahaya”. Petuah ini dipercaya bangsa Cina kuno ketika para dinasti bergantian mengontrol wilayah negeri Tirai Bambu itu. Jepang pun-ketika era shogun menggantikan samurai-juga menampakkan fenomena yang tidak jauh berbeda dalam soal konsep perang.

Peperangan sarat dengan strategi militer massal. Doktrin “Kekuatan, Kecepatan, dan Ketepatan (K-3)” dalam membidik lawan adalah jargon yang established. Karenanya ketika Donald H. Rumsfeld-menteri pertahanan AS yang juga menjadi tokoh di balik perang 2 bulan yang meluluh-lantahkan Afghanistan-mengusulkan teori perang baru, maka kita pun tidak terlalu terkaget-kaget. Rumsfeld, untuk kasus invasi AS ke Irak, mengajukan teori perang yang mengandalkan kekuatan udara, komunikasi komputer, dan kekuatan darat kecil yang ampuh.

Rumspeak

Visi Rumsfeld mengenai transformasi militer di atas-yang populer dengan sebutan Rumspeak-tidak lain adalah doktrin ‘K3′, di mana teknologi senjata sebagai ‘Kekuatan’ utama, teknologi komunikasi sebagai pemandu ‘ketepatan’, dan teknologi udara sebagai strategi ‘kecepatan’ perang. Dengan kata lain doktrin Rumspeak adalah intensifikasi teknologi dalam perang.

Sebenarnya ide dasar dari doktrin itu tidak benar-benar baru, karena gagasan tersebut selalu dipakai sejak jaman dahulu kala. Bahkan ketika Rasulullah SAW mendapat perintah jihad bil qital dan ayat perintah untuk menyiapkan senjata-senjata dan kuda diturunkan Allah SWT, maka Rasulullah menyampaikan kewajiban untuk memelihara kuda dan berlatih memanah.

Kita faham bahwa konteks nash tersebut berkaitan dengan kewajiban persiapan dan konsolidasi teknologi jihad pada masa itu. Sehingga tidak heran kalau ulama sekaliber Muhammmad Al Ghazali dan Yusuf Al Qardhawi ketika membahas “sarana dan tujuan jihad“, beliau meyakini pentingnya kewajiban penyiapan lembaga-lembaga riset kimia dasar, pengembangan sains materi, logam dasar, teknologi rudal, kedirgantaraan, dll. sebagai bagian dari kewajiban mempersiapkan “sarana” jihad atau “teknologi jihad” pada masa modern. Sementara “tujuan” jihad untuk menegakkan agama Allah di muka bumi tetap tidak berubah sejak zaman Nabi hingga hari ini.

Hal yang baru dari Rumspeak adalah aplikasi dari teknologi komunikasi-jaringan mutakhir-baik yang dikembangkan oleh lembaga riset militer maupun sipil-yang mengintergrasikan secara harmonis 4 komponen mesin perang AS yakni, (a) serdadu di lapangan dengan senjata canggih, teropong laser, dan piranti GPS; (b) tank dan kendaraan tempur yang terkomputerisasi; (c) satelit GPS, pengintai predator, dan pesawat pembom rudal di udara; dan (d) pusat gabungan operasi di Qatar yang menghubungkan ketiga komponen lainnya melalui jaringan komputasi raksasa yang memberi gambaran paling jernih tentang medan tempur. Sehingga para jenderal bersama-sama para analis dapat memperhitungkan secara tepat dan akurat situasi perang dengan memeriksa peta digital dari foto komunikasi jaringan untuk kemudian memutuskan suatu tindakan militer yang mematikan-suatu pembidikan terpilih dengan skala yang belum pernah dikenal sebelumnya oleh perang modern. Belum lagi tersedianya teknologi senjata canggih seperti senjata kimia dan nuklir termasuk kendaraan lapis baja yang dilengkapi dengan sensor yang dapat mendeteksi kontaminan baik kimia, biologi maupun nuklir yang dapat langsung dikirim ke markas komandan (Fox Nuclear-biological-chemical Reconnaissance System).

Pertanyaannya adalah pra-kondisi apa yang memungkinkan Rumspeak muncul?

Visi Iptek Nasional?

Jawabnya sederhana, bahwa teknologi sejak dari dulu secara intensif dikembangkan AS melalui apa yang disebut mission oriented project. Bukan hanya Manhattan Project yang menghasilkan ‘little boy’ dan ‘the fat man’-dua buah bom nuklir yang membumihanguskan dua kota di Jepang pada Perang Dunia ke-2-atau proyek penelitian dasar fisika dan kimia jangka panjang, tetapi bahkan para raksasa bisnis seperti Intel melaksanakan riset teknologi produk mereka juga atas dukungan dana pemerintah. Dengan dana riset Iptek lebih dari 5% PDB (dibandingkan dengan Indonesia yang kurang dari 0.2% PDB, juga dengan nilai PDB), dapat kita bayangkan bagaimana komitmen politik dan bersemangatnya AS dalams soal yang satu ini.

Pada awalnya-selepas Perang Dunia II-belanja riset nasional AS didominasi untuk kepentingan militer. Namun perlahan-lahan porsi itu berkurang bersama kemajuan industri teknologi AS. Pada tahun 60-an kontribusi belanja riset pertahanan tinggal sebesar 55%, sementara belanja riset sipil meningkat menjadi sekitar 45%-nya. Hari ini riset sipil hampir mendominasi belanja riset nasional dengan prosentase sebesar 85%, sedangkan belanja riset militer telah jauh menyusut menjadi 15%. Apalagi ketika gegap-gempita di Silicon Valley-sebagai sebuah technology belts-mulai dibantu militer dan Stanford University. Karenanya tidak heran kalu kemudian para kontraktor bidang pertahanan seperti Raytheon, Boeing, Northrop Grumman, Crossbow Technology Inc., CACI International dlsb. pun makin menguat.

Dengan demikian, mula-mula yang terjadi adalah pengembangan teknologi intensif dalam tubuh militer. Kemudian terjadi alih teknologi dari militer ke sipil (spin-off). Lalu-sebagaimana yang terjadi di hari ini adalah kebalikannya-alih teknologi dari sipil ke militer (spin-on). Contohnya adalah ARPANET-sistem jaringan yang mula-mula dikembangkan militer-yang kini populer menjadi internet, dimana kemudian menjadi sistem perang berpusat jaringan. Atau pengembangan semikonduktor celah pita lebar yang mengalami spin-off menjadi chip ponsel, lalu kemudian kembali mengalami spin-on menjadi penerima radar yang sensitive dan kuat (Bussiness Week, No. 44/1/7 April 2003).

Mencermati ini semua lalu membandingkannya dengan apa yang ada di negeri kita atau negeri-negeri muslim pada umumnya, maka yang muncul adalah perasaan miris. Bagaimana tidak? sementara Barat bergerak sangat aktif luar biasa di lapangan teknologi, kita malah bersemangat untuk menentang program nuklir; menghapus subsidi pengembangan teknologi di IPTN (kini PT DI), PINDAD, Dahana dan Industri Strategis lainnya; memensiunkan secara dini para pakar teknologi di lembaga-lembaga itu, bahkan dengan ‘gagah’ kita membubarkan Dewan Pertimbangan Industri Strategis (DPIS) dan BPIS; serta mengobral aset strategis dari segi teknologi dan SDM kepada pihak asing seperti Indosat. Sementara kaum muslimin diperintahkan Allah SWT untuk mengembangkan jihad teknologi, kita malah asyik mengabaikannya dan lebih senang mengimpor produk teknologi dari negara maju meski ketergantungan untuk itu semakin hari semakin dalam.

Itulah yang terjadi. Lalu kalau kemudian rasa gentar di hati musuh-musuh Allah kepada kaum muslimin sirna, siapa lagi yang harus disalahkan? Maka janganlah heran, kalau kemudian yang kita tuai adalah keterhinaan. Irak tetap kalah, meski seluruh kaum muslimin di dunia berdoa bagi kemenangannya. Doa kita tidak dikabulkan Allah swt. Kenapa? Mungkin berlaku sunnah kauniyah-nya, karena kita tidak memenuhi kewajiban mempersiapkan diri. Karenanya menurut penulis, perang Irak adalah pelajaran penting yang harus dipetik ibrohnya, agar kita sadar akan urgensi jihad di lapangan teknologi ini. Wallahu’alam.

* Mulyanto dkk., ‘Urgensi Jihad Teknologi’, Tarbiatuna & ISTECS, Jakarta, 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar